Selamat Datang Di Website Pariwisata Rejang lebong dan Adat istiadat,Bahasa,dan RejangLebong tempo dulu

Sabtu, 08 Desember 2012

Galleri Lebong Tempo Dulu dan Curup Tempo dulu


 Galleri Lebong Tempo Dulu dan Curup Tempo dulu
pasar muara aman 1927





Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa


Add caption




Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang (dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 – 1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung —yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll. Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang, yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci – Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai. Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan. Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong. Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda… Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun 1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50 meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman 1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun 1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade 1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10 gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain. Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis “Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘ emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an. Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput, saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan. Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani, ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia 30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis. Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi, biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus, hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung. Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas. “Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi, atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar, tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali. “Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda. Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh dari depan hidung saya saat itu. Aduh!

TAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang (dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 – 1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung —yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll. Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang, yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci – Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai. Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan. Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong. Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda… Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun 1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50 meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman 1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun 1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade 1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10 gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain. Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis “Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘ emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an. Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput, saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan. Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani, ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia 30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis. Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi, biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus, hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung. Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas. “Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi, atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar, tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali. “Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda. Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh dari depan hidung saya saat itu. Aduh!


Add caption




A.Kedatangan Orang Jawa Ke Barumanis pada zaman kolonialis belanda

Suban ayam 1920-1937 dan bukit kaba 1937,sumber: tropenmuseum.nederland



A.Kedatangan Orang Jawa Ke Barumanis
pada zaman kolonialis belanda
S
ebelum abad ke-20 yaitu sekitar tahun 1800, daerah Bengkulu sudah melakukan hubungan dengan Pulau Jawa terutama pada masa kerajaan-kerajaan masih eksis di Bengkulu seperti Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Serut yang melakukan hubungan dagang dan politis dengan Kerajaan Banten dan beberapa kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Hubungan ini telah membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat di wilayah Bengkulu. Tidak sedikit diantaranya melakukan perkawinan campur  (amalgamasi) antara orang yang datang dari Pulau Jawa dengan penduduk setempat. Bahkan menurut B.J. Karneli perkawinan antara beberapa suku bangsa pendatang seperti Jawa, Bugis, Banten, Palembang, Lembak, dan Lampung dengan penduduk Sungai Lemau telah melahirkan satu suku bangsa baru yang disebut Melayu Bengkulu.Sebelum Kolonial Belanda menguasai daerah nusantara, di zaman swapraja, para pedagang nusantara (Melayu, Jawa, dan Bugis) pada abad XV menyusuri pantai barat Sumatera dengan kapal-kapal layar. Orang Bugis dengan kapal penisinya setiap tahun datang berdagang ke Sumatera dan dianggap oleh penduduk Sumatera lebih pandai berdagang dan berani dalam pelayaran. Bahasa Melayu merupakan linguafranca yang dipakai di pesisir Sumatera. Para pedagang nusantara ini berhubungan dengan kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sumatera. Hal ini terutama karena wilayah Sumatera cukup kaya akan hasil alam seperti lada. Wilayah Bengkulu juga menjadi daerah tujuan perdagangan. Para pedagang datang membeli rempah-rempah dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu sedangkan para pedagang nusantara membawa barang-barang yang tidak dihasilkan di Bengkulu seperti pakaian dan peralatan rumah tangga lainnya.Suku bangsa Rejang yang berada di daerah pedalaman dataran tinggi Lebong (sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia) jauh dari daerah pesisir barat Bengkulu tidak mendapat pengaruh langsung dari kedatangan pedagang nusantara tersebut. Namun pengaruh Jawa justru datang dari 4 orang biku (biksu) utusan dari Kerajaan Majapahit jauh sebelum terbentuknya struktur masyarakat Rejang. Keempat orang inilah yang membentuk struktur dan hukum adat masyarakat Rejang hingga dikelompokkan dalam petulai dari masing-masing biku. Orang Jawa yang berada di Kabupaten Rejang Lebong umumnya keturunan bekas kuli kontrak di perkebunan Belanda pada awal abad ke-20. Terutama di Desa Barumanis dapat dipastikan 90 % penduduknya adalah keturunan langsung mantan kuli kontrak. Pada awalnya terdapat 50 orang yang ditempatkan di perkebunan teh Bukit Daun Afdeeling Barumanis. Nama-nama sebagian kuli kontrak yang didatangkan langsung dari Jawa untuk bekerja di perkebunan teh Bukit Daun adalah Tirto Busari (mantan mandor kebun), Tawirjo, Dirjo, Sijan, Imo Karyo, Salimin, Sapari, Krama Gong, Krama Kaleng, Pamidjo, Sandrijo, Atmo Taruno, Sardam, Jiem, Kemen, Ngatijah, A. Sajak, Sakuni, A. Djaid, Wongso, Paidi, Sandiasak, Munasir, Purwanom, Tjokro Dimejo, Ahamad Dasimin, Darmo (kakek Kepala Desa Barumanis sekarang, Subono), Sarjani, Duriat, Semen Jayo, Trisno, Sakiyem, Sudut, Em Suntuk, Samo Wiyono, Karto Yadi, Dulah Kasmandi, Kusen, dan Suro.Secara resmi Barumanis dari sebuah afdeeling ondernemingen berubah menjadi desa (awalnya disebut Kampung) sejak tahun 1948 dengan kepala Kampung pertama adalah Tirto Busari mantan mandor besar kebun di perkebunan tersebut.
B. Sejarah Perkebunan Sebelum Kemerdekaan Indonesia
P
ada tahun 1830 menerapkan sistem tanam paksa di seluruh wilayah Indonesia yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini mendapat kritikan dari para pengusaha swasta Belanda karena dalam sistem tanam paksa ini seluruhnya dikuasai oleh pemerintah. Tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1870 yang menghapus sistem tanam paksa menjadi penanaman bebas yang dikelola oleh pihak swasta. Dengan undang-undang ini tanah-tanah rakyat yang selama ini dikuasai oleh pemerintah Belanda, dikembalikan ke menjadi hak milik perseorangan. Tidak ada lagi kepemilikan komunal seperti ulayat. Kondisi ini memungkinkan setiap tanah dapat diperjualbelikan oleh pemerintah Belanda dan pengusaha swasta. Dengan undang-undang agraria ini pula ditetapkan adanya pengakuan kepemilikan perseorangan terhadap si pembuka lahan . Untuk mendapat pengakuan tersebut, masyarakat ramai-ramai membuka hutan atau lahan pertanian baru. Kondisi ini menyebabkan hilangnya hak ulayat adat ataupun desa. Menurut data tahun 1882 dari 3,7 juta hekatare tanah pertanian yang ada, baru sekitar 1,7 juta hektare yang dikuasai perseorangan, tetapi setengah abad kemudian, ketika luas tanah pertanian meningkat menjadi 6,6 juta hekatare, penguasaan tanah perorangan telah mencapai 5,4 juta hektare. Sementara tanah-tanah komunal pada periode yang sama telah berkurang yaitu dari 1,3 juta hekatare menjadi 0,89 hektare dan tanah-tanah yang dikuasai pejabat desa juga berkurang dari 0,34 juta hekatere menjadi 0,24 juta hekatare.Keluarnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 telah mengubah sistem penguasaan dan pengusahaan tanah serta pengerahan tenaga kerja. Pada masa sistem tanam paksa, petani hanya diwajibkan menanam seperlima dari lahan yang dimiliki dengan tanaman yang diinginkan oleh Pemerintah Belanda tanpa ada sewa tanah dan pemberian upah. Dengan undang-undang ini, penyerahan tanah dan tenaga kerja dihapus dengan ganti dengan sistem sewa tanah dan sistem perjanjian kerja sukarela melalui sistem upah antara pengusaha dengan rakyat. Sistem inilah menjadi awal munculnya istilah kuli kontrak yang dilanjutkan dengan keluarnya peraturan tentang kuli kontrak (koelie ordonantie) yang dikenal dengan nama poenale sanctie yang memberi ancaman apabila menolak menjadi buruh atau memberi hukuman apabila buruh melarikan diri dari pekerjaannya.Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bengkulu antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh untuk menanam modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan sebutan ”Poenale Sanctie” berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tanggal 13 Juli 1889 Stbld No. 138 dan diperbaiki lagi tanggal 11 Maret 1898 Stbld No. 70. Ordonansi ini menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan (ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa hingga mirip dengan perbudakan. Sembilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Isi kontrak yang dibuat atas nama si kuli yang menandatangani, berisi bahwa si kuli harus bekerja selama 10 jam dalam satu hari, dibuat untuk masa tiga tahun, dan pada saat kedatangannya di tempat tujuan ia akan dicatat oleh pemerintah daerah setempat sehingga terikat oleh hukum yang berlaku di sana. Selain itu si kuli harus melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya dan tanpa izin tertulis dilarang meninggalkan onderneming serta yang memberi pekerjaan dapat memberikan pas keterangan bila buruh hendak mengadukan perlakuan ondernemer yang tidak sesuai dengan ketentuan. Para kuli diberi fasilitas tempat tinggal, upah, makan selayaknya, dan MCK. Bila kontrak selesai, si kuli dapat meminta agar dikembalikan ke kampung asalnya. Si kuli dapat
dihukum bila melarikan diri, mengancam atasannya, mengganggu ketenangan, menghasut, desersi, melawan perintah, berkelahi, dan bermabuk-mabukan. Setelah menandatangani kontrak, si kuli diberi uang panjar. Uang panjar inilah sebagai pengikat si kuli, karena umumnya diantara para kuli belum pernah menerima uang yang banyak dan umumnya para kuli menghabiskan uangnya di meja judi dan minum-minuman keras. Inilah yang diingini oleh pihak perkebunan sehingga para kuli harus bekerja diperkebunan tanpa bisa melakukan perlawanan. Isi kontrak tentang hak dan kewajiban para kuli dan ondenemer hanya sebatas kertas tidak pernah dijadikan acuan dalam hubungan kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Para buruh dipaksa bekerja seperti budak dan para pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan (ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan (ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan kontrak kerja. Kepada majikan diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli kontrak .Perkembangan pesat dibidang ekonomi bagi pemerintahan Belanda di Residen Bengkulu terutama pada tahun 1904 setelah daerah Rejang Lebong dimasukkan dalam wilayah Residensi Bengkoelen. Daerah Rejang Lebong yang subur telah menarik minat perusahaan-perusahaan bidang perkebunan untuk membuka lahan. Berdasarkan data pada tahun 1890 hingga 1929 permintaan terhadap tanah persil untuk perkebunan meningkat.

Suban ayam 1920-1937 kantor administrasi Pengolahan kopi belanda,sumber :tropenmuseum.nederland
  Perkebunan yang cukup besar pada masa pemerintahan kolonial Belanda adalah Perkebunan Suban Ayam (Soeban Ajam) yang lebih dikenal dengan nama Perkebunan Sindang-Redjang yang terletak di Desa Suban Ayam Marga Selupuh Rejang (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Selupuh Rejang). Perkebunan ini terletak di dataran tinggi Bukit Kaba dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut dan luas 3.448 bau. Beberapa perkebunan lainnya yang terdapat di wilayah Onderafdeeling Rejang Lebong dapat dilihat pada tabel berikut.Perkebunan lain yang cukup besar adalah perkebunan Pematang Danau yang dikelola oleh perusahaan Belanda dengan nama Land Cyndicate Nederlands Handel Maatchappy Kina Onderneming Pematang Danau Tjoeroep Resident Bengkulen. Daerah ini berada di daerah Bukit Barisan tepatnya berada di kaki Bukit Kaba dan Bukit Kelam dengan ketinggian sekitar 1940 meter dari permukaan laut dan sekitar 18 kilometer dari pusat kota Curup ibukota Kabupaten Rejang Lebong.Dari tabel tersebut terlihat bahwa kondisi tanah yang berjenis tanah vulkanis di wilayah Onderafdeeling Rejang sangat sesuai untuk tanaman kopi, teh, dan kina sehingga tanaman utama perkebunan adalah kopi. Hingga saat inipun kopi dari wilayah Kabupaten Rejang Lebong cukup terkenal.

Para pekerja di seluruh perkebunan umumnya adalah kuli kontrak yang berasal dari Jawa. Perekrutan pekerja ini dilakukan oleh agen tenaga kerja umum (beroepswerving) dan agen tenaga kerja milik perusahaan (eigenwerving). Umumnya para pekerja tidak pernah diberitahu pekerjaan apa yang akan mereka kerjakan di daerah Sumatera. Mereka dikumpulkan dan dibawa dalam satu kapal laut hingga tiba di Pelabuhan Bengkulu selanjutnya disebar ke berbagai perkebunan yang telah memesan dengan menggunakan transportasi pedati yang ditarik lembu, truk (prahoto/vrachtautomobielen), bahkan ada yang berjalan kaki hingga berhari-hari. Menurut beberapa informan bekas kuli kontrak, untuk ukuran kehidupan ekonomi pada saat itu, upah yang mereka terima sudah cukup untuk hidup sehari-hari namun tidak bisa untuk membeli keperluan lain. Upah ini tidak sepenuhnya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup karena akan berkurang atau bahkan bisa habis pada saat gajian. Karena pihak perkebunan membuka arena judi dan hiburan tari-tarian disertai minum-minuman alkohol. Permainan judi yang pernah ada pada waktu itu antara lain adalah dadu putar, dadu kuncang, dan kartu cong. Sedangkan beberapa minuman alkohol yang laris saat itu antara lain adalah bogma, zenever, dan wisky.Penghasilan antara kuli kontrak laki-laki dan perempuan selalu dibedakan karena pekerjaan laki-laki dianggap lebih berat dari pada pekerjaan perempuan sehingga gaji kuli laki-laki lebih tinggi. Beberapa perbandingan gaji kuli kontrak dan harga beras di beberapa perkebunan pada tahun 1921.Kondisi seperti ini juga dialami oleh para buruh perkebunan (kuli kontrak) di Sumatera Utara pada zaman kolonial. Buruh kebun di daerah ini menerima uang gaji dan beras sebagai tambahan. Mengutip tulisan Syafri Sairin , Gubernur Sumatera Timur dari tahun 1933 – 1936 melaporkan bahwa pada tahun 1933 seorang buruh laki-laki menerima pembagian beras 11 liter tiap 14 hari. Seorang buruh perempuan menerima beras 9 liter tiap 14 hari. Dengan jumlah ini maka dalam satu bulan seorang buruh laki-laki menerima 22 liter beras dan buruh perempuan 18 liter beras. Sebagai perbandingan besar gaji buruh perkebunan dan harga beras di Sumatera Timur dapat dilihat pada tabel berikut.Pada masa berkembangnya perusahaan perkebunan (ondernemingen)di wilayah Onderafdeeling Rejang, pada saat itu pulalah tenaga kerja banyak dibutuhkan. Pada tahun 1928 pada 10 perusahaan saja jumlah kuli kontrak terdapat 4.534 orang kuli laki-laki dan 3.292 orang kuli perempuan dengan rincian sebagai berikut.Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bengkulu antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh untuk menanam modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1888 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan sebutan ”Poenale Sanctie”, yang menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan (ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa hingga mirip dengan perbudakan. Sebilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Disebutkan dalam poenali sanctie bahwa pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan (ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan (ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi  etentuan kontrak kerja. Kepada majikan diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli kontrak .Di bidang pendidikan dapat dikatakan tidak ada sarana dan kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada kuli kontrak. Pada tahun 1940 atas permintaan para kuli kontrak, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan Sekolah Rendah bagi anak-anak kuli kontrak namun tidak berlangsung lama. Pada tahun 1942 tentara Jepang menguasai daerah Bengkulu termasuk daerah Rejang. Sekolah Rendah tersebut dijadikan asrama bagi tentara Jepang selama kurang lebih 6 bulan kemudian sekolah tersebut aktif kembali. Namun materi pelajaran yang diberikan sudah berbeda digantikan dengan sistem Jepang. Untuk kelas I pelajaran yang diberikan adalah belajar huruf Katakana, kelas II belajar Hiragana, dan kelas III belajar Honzi. Anak-anak yang mendapat pendidikan yang lumayan hanya sebatas pada anak-anak kerani (pegawai adminitrasi perkebunan) dan para bawahan tuan besar ondernemingen .Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda membuka perkebunan (ondernemingen) di daerah perbukitan yang diberi nama Bukit Daun dalam wilayah Onderafdeeling Rejang Lebong (Kabupaten Rejang Lebong sekarang). Para pekerja didatangkan oleh Belanda dari Pulau Jawa terutama dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Tenaga kerja yang didatangkan tersebut diikat dengan sistem kontrak. Awalnya para pekerja ini dijanjikan akan dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli (Kota Medan Sumatera Utara sekarang), tetapi nyatanya mereka langsung ke daerah Rejang Lebong.Sistem kontrak yang diberlakukan adalah selama 3 tahun dan dapat diperpanjang bila diperlukan. Namun oleh Belanda, karena sudah mendapatkan tenaga kerja yang murah, maka diatur strategi agar tenaga kontrak tersebut tidak meninggalkan kebun dan bekerja terus pada mereka. Strategi yang dilakukan adalah melegalkan judi dan minuman keras pada saat gajian kecil dan gajian besar. Gajian kecil adalah gajian pada pertengahan bulan, sedangkan gajian besar adalah gajian pada awal bulan. Pada saat gajian inilah para buruh kontrak dipaksa bermain judi oleh para kaki tangan perkebunan. Dengan segala cara, biasanya para buruh kontrak selalu kalah dan gajinya habis di tempat tersebut. Pihak perkebunan dengan senang hati selalu memberi pinjaman kepada buruh sebagai alat untuk mengikat agar si buruh tidak meninggalkan kebun karena pinjaman tersebut dibayarkan dengan sistem potong gaji. Demikian seterusnya hingga akhirnya para buruh kontrak tetap bekerja dan tidak bisa pulang ke desa asalnya karena terikat hutan walaupun kontraknya sudah habis terpaksa diperpanjang. Lokasi perkebunan yang terisolir membuat para buruh tidak mendapat informasi tentang perkembangan dunia luar demikian juga interaksi dengan masyarakat luar. Pada tahun 1920-an saat Belanda akan memperluas areal kebunnya hingga melewati jalan pasar Barumanis sekarang (dahulu areal kebun meliputi daerah Bukit Daun hingga areal jalan raya di Pasar Barumanis sekarang), mendapat perlawanan dari penduduk Talang Gambir (Desa Sukarami sekarang) karena ada kebun penduduk asli Rejang yang cukup luas yang disebut Talang Barneo dan Talang Plimo, sehingga batas areal kebun teh milik Belanda berbatasan dengan jalan Pekan Sabtu Barumanis. Pemukiman penduduk Desa Barumanis sekarang (bagian atas) dahulunya adalah kebun teh Belanda.Tahun 1943 Belanda menyerah kepada Jepang sehingga areal kebun ditinggalkan Belanda dan dikuasai Jepang. Ketika Jepang berkuasa, masyarakat cukup menderita, pakaian terbuat dari kulit kayu, makanan sejenis umbi-umbian, jagung dan lain-lain tidak boleh dimanfaatkan secara bebas dan harus diolah secara tersembunyi agar tidak disita oleh Jepang.Pada masa perkebunan Belanda, jabatan tertinggi Orang Jawa hanya sebatas mandor kebun, selebihnya hanya sebagai buruh pemetik, pemupuk, penyemprot, pembersih areal, dan lain-lain yang sifatnya pekerjaan kasar. Sedangkan Orang Rejang dipekerjakan sebagai staf administrasi dengan penghasilan yang lebih besar dari buruh-buruh kebun.


C. Setelah Indonesia Merdeka
S
etelah Indonesia merdeka tahun 1945, Jepang meninggalkan daerah Barumanis, namun tahun 1948 Belanda kembali untuk menguasai melalui agresi militer I namun mendapat perlawanan dari rakyat dan tentara Indonesia. Akhirnya Belanda meninggalkan areal kebun tersebut untuk dikelola oleh Indonesia. Sepeninggal Belanda areal perkebunan tersebut terlantar karena kekosongan kekuasaan secara politis maupun pengelola perusahaan. Para bekas buruh perkebunan menggarap beberapa areal perkebunan untuk ditanami tanaman pangan seperti jagung dan umbi-umbian. Tanaman teh yang terlantar tumbuh tidak terurus hingga batangnya cukup tinggi dan cukup besar dengan diameter batang mencapai 25 centimeter.Beberapa bekas buruh perkebunan teh tersebut mencoba mengelola perkebunan dengan membersihkan areal perkebunan dan mengganti tanaman teh yang sudah cukup tua dengan tanaman pangan seperti ubi, jagung, sayur-sayuran, dan tomat. Di areal kebun yang digarap tersebut dibangun rumah-rumah penduduk yang cukup sederhana dengan berlantai tanah, dinding papan atau gedek (dinding terbuat dari anyaman bambu), dan atap terbuat dari rumbia atau belahan bambu yang disusun sedemikian rupa. Ada juga yang sudah dapat membangun rumah yang lebih bagus dengan dinding papan, lantai semen, dan atap seng, namun untuk pertama kalinya pada saat itu hanya terdapat dua buah rumah yaitu rumah milik Mandor Tirto Busari (bekas mandor kebun).Hingga tahun 1958 sudah sekitar 30 kepala keluarga yang menggarap areal bekas perkebunan teh tersebut terutama oleh keluarga Tirto Busari (mantan mandor besar di perkebun teh). Pada tahun 1958 terjadi peristiwa PRRI di wilayah Bengkulu hingga masuk ke Desa Barumanis. Masuknya para pemberontak PRRI ke desa ini menimbulkan ketakutan warga terutama setelah salah seorang warga di Dusun Trimulyo tewas tertembak oleh Tentara Hitam yang dicurigai sebagai anggota PRRI. Peristiwa ini membuat seluruh warga mengungsi ke Curup dengan menumpang di rumah-rumah keluarga atau kenalan Orang Rejang seperti keluarga Pak Parjiman yang menumpang di rumah keluarga Pak Abdullah Sani (mantan Pasirah), dan Pak Dalimin yang  enumpang di rumah kerabatnya. Ada pula yang mengungsi hingga ke Lampung dan tidak kembali lagi ke Bengkulu atau ke Desa Barumanis.Tahun 1960 suasana politik sudah mulai kondusif, pemberontak PRRI sudah tidak ada lagi. Penduduk kembali ke Desa Barumanis dan menempati rumah masing-masing yang sudah 2 tahun ditinggalkan sehingga sudah ada yang rusak dan ditumbuhi oleh tumbuhan liar. Rumah-rumah yang tidak ditempati lagi karena penghuninya tidak kembali lagi, diambil alih oleh warga tanpa proses ganti rugi. Para penduduk boleh  enggarap areal eks perkebunan semampu mereka karena pada saat itu penduduk tidak seberapa, maka satu keluarga ada yang memiliki lahan hingga lebih dari dua hektar, sedangkan rumah dan kebun yang ditinggalkan oleh pengungsi yang tidak kembali lagi dapat diambil alih oleh warga lain dengan melapor kepada Kepala Dusun yang selanjutnya dilaporkan ke pasirah . Pada tahun 1960, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 10 Tahun 1960, maka lahan garapan penduduk mulai ditertibkan dengan melakukan pengukuran dan  Pembuatan sertifikat hak milik atas tanah yang digarap. Dalam UUPA ada lima prinsip utama yang diatur yaitu pertama, sesuai dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, negara berhak menguasai seluruh kekayaan alam dan berwenang untuk mengatur kekayaan itu untuk menyejahterakan rakyat, antara lain dengan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya (pasal 2 UUPA 1960). Kedua, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang mengisap tenaga kerja petani melalui sistem sewa dan gadai (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA 1960). Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup denganluas lahan yang kecil sebab sempitnya pemilikan luas tanah berakibat kecilnya pendapatan akibat rendahnya produktivitas (Pasal 13 jo Pasal 17 UUPA 1960). Jika tanah didistribusikan secara adil, petani akan mendapatkan tanah secara merata. Luas maksimal tanah yang dapat dimiliki adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut.Ketiga, negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas (Pasal 9 jo Pasal 21 UUPA 1960). Negara juga membatasi hak warga negara asing untuk menguasai tanah di Indonesia. Keempat, tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif (Pasal 10 UUPA 1960) dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar (absentee) atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecendrungan memeras (Pasal 10 ayat 1 jo Pasal 11 Ayat 1 UUPA 1960). Kelima, negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk memberi kepastian hukum kepada petani pemilik tanah.Selanjutnya penduduk yang sudah menetap mengajak kaum kerabatnya untuk tinggal bersama karena areal masih cukup luas untuk dikelola. Demikian seterusnya penduduk Desa Barumanis semakin banyak hingga saat ini berjumlah 430 kepala keluarga yang merupakan keturunan langsung dari buruh kontrak di perkebunan Belanda dan beberapa penduduk yang datang pada periode berikutnya.Tahun 1986 dibuka perkebunan kopi oleh PT. Sembada Nabracom. Perusahaan ini beroperasi hanya sampai tahun 2003 setelah Hak Guna Usaha atas lahan perkebunan dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong. Selanjutnya pada tahun 2003, PT. Kartini salah satu perusahaan perkebunan dari daerah Pekalongan juga berencana akan membuka perkebunan, namun tidak jadi. Tidak diperoleh informasi yang jelas mengapa perusahaan tersebut tidak jadi beroperasi. Terakhir pada tahun 2004, PT. Agro Tea membuka perkebunan teh di bekas areal perkebunan Belanda tesebut atau bekas perkebunan kopi milik PT. Sembada Nabracom. Areal perkebunan perusahaan ini meliputi Desa Sentral Baru dan Desa Barumanis (lihat peta). Dibukanya perusahaan perkebunan ini telah memberi lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Namun tidak semua penduduk desa setempat mau bekerja di perusahaan tersebut. Hanya penduduk beberapa desa saja yang mau bekerja yaitu Desa Kampung Sajad, Desa Air Bening, Sentral Baru, Pal VIII, Pal IX dan 2 orang dari Desa Barumanis yang bekerja sebagai operator di pabrik teh.
Dalam beberapa media massa, perusahaan perkebunan ini mendapat sorotan yang tajam. Hingga saat ini, luas kerusakan hutan lindung di Bukit Daun Register V Desa Ujan Mas, Rejang Lebong, Bengkulu, sudah mencapai 31.280 hektare atau sekitar 34,5 persen dari keseluruhan luas hutan itu, yang tercatat 90.804 hektare.Kerusakan hutan lindung Bukit Daun, yang menjadi areal tangkapan air bagi PLTA Musi akibat dijadikan perkebunan kopi, karet, berbagai jenis tanaman keras lainnya, serta penebangan kayu secara liar. Sekitar 105 dari 150 hektare kawasan hutan lindung register 37 Bukit Daun, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu kini sudah dibuka oleh PT Agro Tea (AT), padahal izin pinjam pakai dari Departemen Kehutanan belum turun. PT AT sebelumnya mendapatkan izin pembukaan kebun teh dari Pemkab Rejang Lebong seluas 600 Ha di kaki Bukit Daun, namun lahan itu ternyata kurang 150 Ha, karena itu kawasan hutan lindung yang sudah menjadi semak belukar di sekitar itu terpaksa dipakai untuk menutupi kekurangan tersebut. Kawasan hutan lindung yang dirambah perusahaan itu luasnya sekitar 150 Ha, sampai sekarang 105 Ha di antaranya sudah ditanami teh, kawasan hutan lindung yang dibuka perusahaan itu lokasinya berbatasan dengan lahan yang diberikan izin oleh Pemkab sekitar tahun 2003 .