Selamat Datang Di Website Pariwisata Rejang lebong dan Adat istiadat,Bahasa,dan RejangLebong tempo dulu

Sabtu, 08 Desember 2012

Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa


Add caption




Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang (dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 – 1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung —yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll. Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang, yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci – Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai. Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan. Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong. Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda… Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun 1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50 meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman 1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun 1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade 1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10 gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain. Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis “Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘ emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an. Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput, saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan. Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani, ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia 30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis. Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi, biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus, hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung. Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas. “Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi, atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar, tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali. “Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda. Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh dari depan hidung saya saat itu. Aduh!

TAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang (dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 – 1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung —yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll. Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang, yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci – Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai. Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan. Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong. Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda… Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun 1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50 meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman 1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun 1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade 1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10 gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain. Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis “Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘ emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an. Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput, saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan. Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani, ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia 30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis. Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi, biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus, hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung. Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas. “Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi, atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar, tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali. “Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda. Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh dari depan hidung saya saat itu. Aduh!


Add caption




3 komentar:

Unknown mengatakan...

semoga masyarakat yang tingggal disekitar daerah lebong bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi untuk kedepanya...salam kenal

Unknown mengatakan...

Bang apakah pertambangan masih beroperasi saat ini

Unknown mengatakan...

Bang apakah pertambangan masih beroperasi saat ini