curup 09061937 perpisahan sanders lokasi Gedung GOR sekarang
Rejang
Selayang Pandang (Asal Mula Suku Rejang di Bengkulu)
Sahdan pada zaman kerajaan raja-raja
dari daerah pulau Jawa masih dalam masa kajayaannya. Semasa Palembang masih
bernama Selebar Daun, Bengkulu masih bernama Sungai Serut, Rejang masih bernama
Renah Sekelawi (sebelumnya bernama Pinang Belapis). Pada zaman itu raja adalah
orang yang mempunyai turunan raja pula. Raja bukan sembarang raja, raja sakti,
arif lagi bijaksana.
Karena di Pulau Jawa telah banyak
kerajaan yang rajanya telah ada, maka sebagian turunan raja-raja itu merasa
dirinya terhina bila tidak dapat jadi raja. Beberapa orang turunan raja itupun
mencoba keluar dari pulau Jawa, dengan maksud mencari daerah yang akan
diperintahnya. Mereka merejang kepulau Perca (Pulau Sumatra) untuk mencari
daerah baru.
Bertahun tahun meraka merejang di
daerah Pulau Perca, dan mereka telah tiba di daerah Tapus sekarang. Di sana
Bitsu Bembo sebagai pelacak pertama menyatakan bahwa di sini suko dijadikan
negerai (suka negeri ). Untuk menetapkan atau memberi apa nama negeri tersebut,
maka dibuatlah satu pertapaan yang diberi kelambu. Setelah beberapa hari,
kelambu itu dibuka, ternyata didalamnya tumbuh sebatang kayu yang namanya kayu
Tapus, nah karena itu negeri atau tempat itu dinamakan TAPUS.
Bitsu Bembo berpesan pada
saudara-saudaranya apabila ingin menyusulnya, telusurilah muara sungai yang
paling deras muaranya. Bertahun lamanya mereka menyusuri sebuah sungai, barulah
mereka bertemu dengan bitsu Bembo. Justru karena itu, maka sungai yang mereka
susuri itu dinamakan sungai Ketahun (asal kata menaun).
Adalah mereka yang menyusul itu adalah
Bitsu Bermano, bitsu Bejenggo, dan bitsu Sepanjang Jiwo. Bitsu-bitsu itu
terpencar kebeberapa daerah, seperti bitsu Bermano di daerah Kutai Ukem (Kota
Rukam) yang terletak di daerah Darmaga Tauris Danau Tes sekarang. Perlu kami
nyatakan bahwa Danau Tes itu nama sebenarnya adalah BIYOA KETEBET (air
ketebat). Tebat adalah kolam kata kita sekarang. karena air itu adalah kolam Si
PAHIT LIDAH (MANTAKUN), dan temannya Si MATO EMPAT (ALI JENANG TIGAS).
Adapun tiga orang bitsu yang menyusul
itu telah mempunyai daerah masing-masing, seperti bitsu Bermano mempunyai
daerah Kutai Ukem. Bitsu Bejenggo mempunyai daerah Tubei atas tebing. Di daerah
sebelah atas dari (pasar Muara Aman sekarang). Sedangkan bitsu Sepanjang Jiwo
mempunyai daerah Batu Lebar Seguring, daerah Curup sekarang. peduduk pada masa
itu belum Lancar berbahasa, dan lidahnya agak kaku, bitsu itu disebutnya BIKAU.
Bukan bikoa, ada pula yang menyebutnya Rejang Bikoa, itu salah yang betulnya
adalah Rejang turunan Bikau. Bikau adalah asal katanya dari bitsu. Bitsu adalah
kiyai agama budha.
Pada waktu itu mereka sibuk mengurus
daerah mereka masing-masaing, sehingga saling terpecahlah kesatuan mereka. Pada
waktu itulah pada sebatang Benuang Sakti ditunggui oleh SIAMANG PUTIH. Anehnya
Siamang Putih ini kemana ia menghadap di sana ditimpa bencana. Baik itu bencana
penyakit, kebakaran dan sebagainya.
Mereka berusaha untuk mencegah hal ini,
mereka mengadakan sidang musyawarah di tempat balik hati (baik atei) di daerah
Lebong Simpang sekarang. tempat ini ditunggu oleh : 5 orang malim : 1. malim
serubuk, 2. Malim Sedina, 3. Malim Sedu Royeak, 4. Malim Sumar Galung dan 5.
Malim Lemo. Dan juga di sana ada pula 4 orang dayang, yaitu: 1. Dayang Tarok,
2. Dayang Turing, 3. Dayang Kecitang Tanuk Karo dan 4. Dayang Itam. Di samping
dayang-dayang ada pula Rebiak 3 orang, yaitu : 1. Rebiak Mabuk, 2. Rebiak
Merem, dan 3. Rebiak Guting Paras.
Hasil musyawarah mereka di sana ialah
batang Benuang Sakti itu harus ditebang, Supaya Siamang Putih itu dapat
dimusnahkan. Bikau Bembo selaku ketua mengurus penebangan itu, Dan penebangan
pertama jatuh ke tangan bikau Bermano.
1.Bikau Bermano mengarahkan anak buahnya megapak kayu
benuang itu. Seluruh anak buahnya turun tangan turut menebang kayu itu.
Sehingga CIGAI MANAI (dalam arti telah penuh dengan kapaan) namun kesaktiannya
kayu Benuang itu jangankan roboh, malah bertambah kokoh tegaknya. Bikau Bermano
dan anak buahnya menyerah/ mengaku tidak dapat menebang kayu Benuang itu.
Dengan kata-kata cigai manai daerahnya dinamakan Margo Manai (bermani). Yang
berkedudukan di Kutai Ukem (Kota Rukam). Penduduknya berciri khas Sekoa Rucing.
2.Giliran kedua jatuh pula ke tangan bikau Bejenggo.
Bikau Bejenggo berduyun-duyun mengajak anak buahnya untuk menebangnya. istilah
berUBEI-UBEI (bergotong royong), namun hasilnya masih sama dengan
hasil bikau Bermano tadi. Dari kata ubei maka marganya dikataksn Margo Tubei.
Penduduknya berciri khas KOOT ULAU KETOT.
3.Tiba pula giliran yang ketiga yaitu bikau Sepanjang
Jiwo. Namun mereka ini secara UPUAK-UPUAK artinya berpayah payah
mengerahkan segala tenaga yang ada untuk menebang Benuang itu. Namun hasilnya
sama pula dengan hasil dua bikau sebelumnya.dengan istilah upuak upuak marganya
dinamakan Margo Seluak (MARGA SELUPUH) sekarang yang berkedudukan di Batu Lebar
Seguring di daerah Curup. Ciri khas penduduknya bermaneu ubep ubep (seolah olah
ada yang akan di terkam). Ketiga bikau yang terdahulu semuanya mengaku tidak
tertebang Benuang Sakti itu. Kini tiba gilirannya pada orang yang mengatur,
harus pandai berbuat apa yang ia aturi. Jangan bisa mengatur saja. Ia harus
bisa melaksanakan apa yang ia aturkan itu.
Bikau bembo kebingungan dibuatnya.
bagaimana akan menumbangkan pohon Benuang Sakti yang selalu mendatangkan
malapetaka itu. Andai hal ini tidak teratasi, kemungkinan seluruh wilayah akan
menerima giliran musibah. Dalam keadaan termenung bikau Bembo seolah olah ada
orang yang berbisik, semoga bikau Bembo membakar kemenyan, dan bersemendi (bertapa).
Beliau melaksanakan pertapaan, memohon pada yang maha sakti dan pada yang maha
agung, yang menguasai seluru alam jagat ini.
Dalam PERTAPAAN
beliau mendapat bisikan, bahwa pohon benuang ini mau roboh, bila
digalang oleh PUTRI SEDARAH PUTIH adalah Putri Raja Perambanan. Perambanan
adalah suatu kerajaan yang terletak di daerah Jawa Tengah.
Dengan harapan yang sedikit sekali akan
berhasil, maka bikau Bembo berangkat ke Jawa Tengah menuju kerajaan Prambanan.
Bermohon agar Raja Prambanan mengizinkan putrinya jadi penggalang.
Raja kerajaan Prambanan adalah raja
yang arip lagi bijaksana, memperkenakan putrinya menjadi penggalang, Tetapi
harus memenuhi beberapa syarat persyaratan itu antara lain :
1. Putri
Sedarah Putih tidak boleh cacat, misalnya jasmani ataupun rohaninya.
2. Setelah
menjadi penggalang harus dikembalikan kepangkuan ayahnya di kerajaan Prambanan.
3. Andai
kata Putri Sedarah Putih cacat bikau Bembo harus menanggung resikonya.
Putri Sedarah Putih dibondong ke pulau
Sumatera, ke daerah mereka. Setelah di daerah itu, mereka menggali lubang di
sekitar pohon Benuang Sakti itu, tempat putri Sedarah Putih digulingkan. adapun
lubang itu, dalamnya 7 hasta, lebarnyapun 7 hasta.
Setelah sesuatu yang harus dikerjakan
telah beres atau selesai, maka bikau Bembo memulai menebang. Pohon Benuang
Sakti itu memang betul roboh, tapi Siamang Putih itu raib entah kemana
perginya. Putri Sedarah Putih segera dikeluarkan dari lubang itu. Mereka semua
merasa gembira karena pohon benuang yang bermala petaka itu telah tiada. Telah
musnah dan roboh. yang bisa dijadikan kayu yang berkeping.
Tapi anehnya putri Sedarah Putih itu
hamil. Dengan rasa lesu bikau Bembo berangkat ke Prambanan mengembalikan putri
Sedarah Putih. Di sana beliau mendapat caci maki yang bertubi-tubi. dan harus
bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Maka bikau bembo harus kawin dengan
putri Sedarah Putih.
Bikau Bembo adalah orang mencari
penggalangan Benuang Sakti, dengan asal kata tukang galang maka daerahnya
dinamakan Juru Kalang. Penduduknya berciri khas telunjuk miring. Banyak orang
berpendapat bahwa turunan orang Juru Kalang tidak dimakan buaya. Sekarang
antara Bermani dan Juru Kalang telah bersatu menjadi BERMANI JURU KALANG, yang
terletak di Kecamatan Lebong Selatan Tes.
Posted BY hardian Firdaus. Terbentuknya Jang Pat Petulai
Lama kelamaan dari
keempat pemimpin dari tempat tersebut, rakyat masing-masing terus berkembang,
dan sejalan dengan itu timbul pulalah perbedaan-perbedaan pendapat dan masalah
kependudukan dan otonomi daerah. Belajar dari perbedaan pendapat dan
masalah-masalah yang timbul dalam rakyatnya, maka keempat pemimpin dari empat
daerah bersepakat mengadakan rapat untuk menentukan batas kekuasaan
masing-masing daerah, yang akhirnya disebutlah dengan nama Jang Pat Petulai,
yang berasal dari kata-kata Rejang yaitu:
Jang
=”Suku Rejang (singkatan kata dari Merejang)
Pat
=”Empat”
Petu
=”Bang(Pintu)”
Lai
=”Lai (Besar)
2. Pemimpin dan kedudukan Pat Petulai
Keempat Petulai itu
terdiri dari:
a)
Petulai I dipimpin oleh Bagelang Mato, berkuasa penuh di Renah Pelawi dan
berkedudukan di Bendar Agung Lebong.
b)
Petulai II dipimpin Rio Bitang, berkuasa penuh dan berkedudukan di Atas
Tebing/Pelabai.
c)
Petulai III dipimpin oleh Rio Jenggan, berkuasa penuh dan berkedudukan Suka
Negeri Tapus.
d)
Petulai IV dipimpin oleh Rioa Sabu, berkuasa penuh dan berkedudukan di Kuto
Rukam Tes.
Setelah keempat petulai
ini ditetapkan sebagai pemimpin, maka mereka mendapatkan gelar atau sebutai Ajai,
yang berarti orang yang dihormati atau orang yang dimuliakan.
3. Daerah yang Banyak
Berpenduduk Rejang
Pada mulanya suku
rejang ini berasal dari satu keturunan, namun setelah sekian lama, setelah
mereka merejang ke daerah lain dan bergaul dengan suku lainya, maka banyak
terdapat baik dalam bahasa/dialek/logat mengalami perubahan, namun pada umumnya
artinya sama. Kita contohkan sebagai berikut;
Dau = Deu = Dew
Lalau = Lalew = Laleu
Moi = Mai
Telau = Teleu =Telew
Adapun daerah-daerah
yang banyak berpenduduk suku Rejang adalah:
Yang mendiami daerah Lebong dan sekitarnya disebut
dengan Jang Lebong.
Yang mendiami daerah Air Musi (Musai) dan sekitanya
disebut Jang Musai.
Yang mendiami daerah Padang Ulak Tanding, Selangit,
Batu Gene dan sekitarnya disebut Jang Lembak Sindang (Menyindang).
Yang Mendiami daerah Taba Penanjung dan sekitarnya
disebut Jang Tengeak.
Yang Mendiami daerah Lais, Ketahun dan sekitarnya
disebut Jang Pesisia
4. Bukti Keberadaan Suku Rejang
Seperti yang dijelaskan
diatas, bahwa suku Rejang ini bukan merupakan suku yang tidak mempunyai asal
usulnya, karena keberadaan suku Rejang dapat dibuktikan dengan adanya bahasa
dan tulisan tersendiri, bahasa Suku Rejang disebut Bahasa Jang,
sedang tulisan Suku Rejang disebut dengan Ka. Ga, Nga, dan
seterusnya. Suku Rejang juga memiliki adat tersendiri pula.
Dasar tulisan suku
Rejang ini, dipergunakan oleh suku daerah lain, yang antara lain dipergunakan
oleh Suku Komering, Lampung, dan Pasemah, namun cara penulisan Huruf-hurufnya
ada sedikit perubahan yang disesuaikan dengan dialek/bahasa/logat daerah
masing-masing.
5. Adat Istiadat
Adat istiadat disetiap
daerah suku rejang memiliki adat istiadat masing-masing yang disesuaikan dengan
cara hidup masyarakatnya, iklimdaerah, dan adat istiadat antar masing-masing
daerah ini tidak menyimpang jauh dari adat istiadat yang telah diciptakan oleh
nenek moyang mereka dahulu. Adat istiadat mereka ini tetap bersendikan kepata
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Selain dari pada adat yang sebenarnya adat
ini dapat diubah, ditambah atau dikurangi yang dan yang disebut Adat Lembaga
yang diciptakan di setiap daerah.
Adapun jenis adat
istiadat/Adat yang diadatkan adalah sebagai berikut:
1. Adat Bujang Gadis
2. Adat dalam Perkawinan
3. Adat Mengebeu
5. Adat Sepejabet
6. Adat Pecuak Kulak
7. Adat Pecuak Ko’on
8. Adat Semendo Rajo-rajo
Semendo Teguak
Semendo Beuk Munggua
Semendo Langeu Ijo
beleket
9. Adat Pelayan
10. Adat Mas Kutai
11. Adat Pelakeak
Papen
12. Adat Kejai
13. Jenis
adat-adat lainya yang terdapat dalam adat kelembagaan (Afdeeling/Onderafdeeling-Bundel
Adatrecht No. 11 tahun 1911)
6. Batas-Batas Daerah
Suku Rejang
Dimasa berdirinya Jang
Pat Petulai Renah Pelawi, ditetapkan batas daerah yang merupakan Batas wilayah
kekuasan masing-masing daerah yang dipimpin oleh masing-masing ajai dengan
batas sebagai berikut:
Jang Pat Petulai renah Pelawi Lebong, menguasai batas arah ke Timur sampai Ulu Musi.
Jang Tiga Banggo Ulu Musai, Menguasai batas arah selatan (Sindang Merdiko).
Jang Sebelas banggo Renah Pesisia, Menguasai batas arah ke Barat.
Jang Tujuh Banggo Renah Ketahun, menguasai batas arah Ke Utara.
7. Jang Tiang Pat Lemo Ngen Rajo
Setelah beberapa lama
berdirinya Jang Pat Petulai Renah Pelawi Lebong, dimana jumlah penduduk semakin
berkembang, dengan segala macam masalah yang timbul dalam masyarakat guna
menengahi permasalahan-permasalahan ini, maka para pemimpin petulai-petulai
bersepakat untuk mengangkat seorang pucuk pimpinan sebagai Rajo di Renah Pelawi
untuk tempat berembuk meminta petuah dan sebagai pemersatu Pat Petulai.
Setelah timbul
kesepakatan antara ke empat Ajai Jang Pat Petulai bersama dengan para cerdik
pandai dan orang-orang terkemuka, maka diputuskan bahwa yang dapat menjadi Raja
di Jang Pat Petulai ini haruslah seseorang yang berasal dari anak asal yang
mempunyai kemampuan dan paham dalam pemerintahan. Dalam kesepakatan ini maka
diangkatlah Sultan Saktai gelar Rajo Jongor-Rajo Megat-Rajo Mudo
keturunan dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Setelah diangkat Sultan
Saktai gelar Rajo Jongor-Rajo Megat-Rajo Mudo, sebagai raja atau pucuk pimpinan
Jang Pat Petulai, maka ditetapkanlah nama Kerajaan ini menjadi Jang tiang Pat
Lemo Ngen Rajo, dengan susunan sebagai berikut:
Sultan Saktai gelar Rajo Jongor-Rajo Megat-Rajo Mudo, duduk sebagai Rajo Jang tiang Pat Lemo Ngen Rajo dan
berkedudukan di Pelabai dan kemudian pindah di Bendar Agung Renah Pelawi
Lebong.
Ajai Begelang Mato, pemimpin Petulai I sebai Tiang I berkedudukan sebagai
Staf kerajaan di Bendar Agung mendampingi Rajo.
Ajai Bitang,
pemimpin Petulai II sebagai tiang II berkedudukan di Atas Tebing.
Ajai rio Jenggan,
pemimpin Petulai III sebagai Tiang III berkedudukan di Suka Negeri Tapus.
Ajai Rio Sabu,
pemimpin Petulai IV sebaga Tiang IV berkedudukan di Kuto Rukam Tes.
(Sumber :Buku Tembo
Keluarga, disusun oleh Zainul Arifin Raja Chalifah. Putra ke 9 dari 11
besaudara dari Rakidan gelar Raja Chalifah dan Waliana. Koleksi Pribadi) Diceritakan kembali oleh hardian Firdaus,S.PdI
Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2
diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
TAVIA Ke 2
diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!