Add caption |
Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2
diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
Add caption |
3 komentar:
semoga masyarakat yang tingggal disekitar daerah lebong bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi untuk kedepanya...salam kenal
Bang apakah pertambangan masih beroperasi saat ini
Bang apakah pertambangan masih beroperasi saat ini
Posting Komentar