pasar muara aman 1927 |
Selamat Datang Di Website Pariwisata Rejang lebong dan Adat istiadat,Bahasa,dan RejangLebong tempo dulu
Sabtu, 08 Desember 2012
Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2 diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
Add caption |
Daerah Lebong daerah Kaya Emas dikenal BATAVIA Ke 2
diindonesia pada zaman kolonialis dikenal hingga keEropa
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
REP
Lubang kacamata di Lebong Tambang
(dok. syam)
Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki
cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden
dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang
lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak
membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan
mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai
kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 –
1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam
pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun
menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain
mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak
menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi
secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat
abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi
hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung
—yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan
Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah
baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan
tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain.
Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi
penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok
selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun
lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak
berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris
menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau
mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll.
Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang,
yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di
tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.
Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa
karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci –
Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar
kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda
dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan
masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai.
Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu
lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang
kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung
sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual
keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para
pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga
irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi
cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu
titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir
jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses
pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan.
Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat
satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong.
Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak
Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan
tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu
kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan
ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa
Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira
bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau
Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin
ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda…
Hendri teuk tiasa!
Di dalam lubang kacamata
Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut
Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak
dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini
dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi
tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit
batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun
1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang
udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan
bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar
kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang
arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50
meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan
Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang
Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman
1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak
kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang
Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun
1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah
oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade
1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10
gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata
warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang
kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda
tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh
dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh
tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.
Mengais kerak emas
Areal PT. Tansri Madjid Energi
Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan
dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain.
Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat
biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis
“Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid
Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di
dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘
emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an.
Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput,
saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung
emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum
ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu
mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan.
Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan
kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani,
ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa
Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper
and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok
sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia
30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis.
Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.
Iis dan gelundung
Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah
batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir
pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam
gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih
setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga
dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi,
biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang
besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus,
hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih
tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung.
Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi
logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang
sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa
baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang
material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah
memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material
batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara
perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air
keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan
merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas
yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula
memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang
tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas.
“Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam
mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima
ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak
menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan
energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga
listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional
bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung
emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi,
atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas
di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang
pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh
dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah
pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya
bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit
tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar,
tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di
sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali.
“Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang
tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata
Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda.
Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga
berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas
dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman
Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang
tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di
Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk
membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal,
Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.
Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku
Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada
zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang
Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun
melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang
Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang.
Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik
pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau
Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk
dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi
untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan
Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum
era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh
pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda
transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan
atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh
karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia
kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang
habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan
tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong
dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah
abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak
emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman
percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk
pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan
hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat
lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan
Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan
emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh
dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
Add caption |
A.Kedatangan Orang Jawa Ke Barumanis pada zaman kolonialis belanda
Suban ayam 1920-1937 dan bukit kaba 1937,sumber: tropenmuseum.nederland |
A.Kedatangan
Orang Jawa Ke Barumanis
pada zaman kolonialis belanda
S
|
ebelum abad ke-20 yaitu sekitar tahun 1800,
daerah Bengkulu sudah melakukan hubungan dengan Pulau Jawa terutama pada masa
kerajaan-kerajaan masih eksis di Bengkulu seperti Kerajaan Selebar, Kerajaan
Sungai Serut yang melakukan hubungan dagang dan politis dengan Kerajaan Banten
dan beberapa kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Hubungan ini telah membawa
pengaruh yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat di wilayah
Bengkulu. Tidak sedikit diantaranya melakukan perkawinan campur (amalgamasi) antara orang yang datang dari
Pulau Jawa dengan penduduk setempat. Bahkan menurut B.J. Karneli perkawinan
antara beberapa suku bangsa pendatang seperti Jawa, Bugis, Banten, Palembang,
Lembak, dan Lampung dengan penduduk Sungai Lemau telah melahirkan satu suku
bangsa baru yang disebut Melayu Bengkulu.Sebelum Kolonial Belanda menguasai
daerah nusantara, di zaman swapraja, para pedagang nusantara (Melayu, Jawa, dan
Bugis) pada abad XV menyusuri pantai barat Sumatera dengan kapal-kapal layar.
Orang Bugis dengan kapal penisinya setiap tahun datang berdagang ke Sumatera
dan dianggap oleh penduduk Sumatera lebih pandai berdagang dan berani dalam
pelayaran. Bahasa Melayu merupakan linguafranca yang dipakai di pesisir
Sumatera. Para pedagang nusantara ini berhubungan dengan kerajaan-kerajaan yang
terdapat di Sumatera. Hal ini terutama karena wilayah Sumatera cukup kaya akan
hasil alam seperti lada. Wilayah Bengkulu juga menjadi daerah tujuan
perdagangan. Para pedagang datang membeli rempah-rempah dari kerajaan-kerajaan
kecil yang ada di Bengkulu sedangkan para pedagang nusantara membawa
barang-barang yang tidak dihasilkan di Bengkulu seperti pakaian dan peralatan
rumah tangga lainnya.Suku bangsa Rejang yang berada di daerah pedalaman dataran
tinggi Lebong (sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia) jauh dari daerah
pesisir barat Bengkulu tidak mendapat pengaruh langsung dari kedatangan
pedagang nusantara tersebut. Namun pengaruh Jawa justru datang dari 4 orang
biku (biksu) utusan dari Kerajaan Majapahit jauh sebelum terbentuknya struktur
masyarakat Rejang. Keempat orang inilah yang membentuk struktur dan hukum adat
masyarakat Rejang hingga dikelompokkan dalam petulai dari masing-masing biku. Orang
Jawa yang berada di Kabupaten Rejang Lebong umumnya keturunan bekas kuli
kontrak di perkebunan Belanda pada awal abad ke-20. Terutama di Desa Barumanis
dapat dipastikan 90 % penduduknya adalah keturunan langsung mantan kuli
kontrak. Pada awalnya terdapat 50 orang yang ditempatkan di perkebunan teh
Bukit Daun Afdeeling Barumanis. Nama-nama sebagian kuli kontrak yang
didatangkan langsung dari Jawa untuk bekerja di perkebunan teh Bukit Daun
adalah Tirto Busari (mantan mandor kebun), Tawirjo, Dirjo, Sijan, Imo Karyo,
Salimin, Sapari, Krama Gong, Krama Kaleng, Pamidjo, Sandrijo, Atmo Taruno,
Sardam, Jiem, Kemen, Ngatijah, A. Sajak, Sakuni, A. Djaid, Wongso, Paidi,
Sandiasak, Munasir, Purwanom, Tjokro Dimejo, Ahamad Dasimin, Darmo (kakek
Kepala Desa Barumanis sekarang, Subono), Sarjani, Duriat, Semen Jayo, Trisno,
Sakiyem, Sudut, Em Suntuk, Samo Wiyono, Karto Yadi, Dulah Kasmandi, Kusen, dan
Suro.Secara resmi Barumanis dari sebuah afdeeling ondernemingen berubah menjadi
desa (awalnya disebut Kampung) sejak tahun 1948 dengan kepala Kampung pertama
adalah Tirto Busari mantan mandor besar kebun di perkebunan tersebut.
B. Sejarah
Perkebunan Sebelum Kemerdekaan Indonesia
P
|
ada tahun 1830 menerapkan sistem tanam paksa
di seluruh wilayah Indonesia yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini mendapat kritikan dari para pengusaha swasta
Belanda karena dalam sistem tanam paksa ini seluruhnya dikuasai oleh
pemerintah. Tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang
Agraria 1870 yang menghapus sistem tanam paksa menjadi penanaman bebas yang
dikelola oleh pihak swasta. Dengan undang-undang ini tanah-tanah rakyat yang
selama ini dikuasai oleh pemerintah Belanda, dikembalikan ke menjadi hak milik
perseorangan. Tidak ada lagi kepemilikan komunal seperti ulayat. Kondisi ini
memungkinkan setiap tanah dapat diperjualbelikan oleh pemerintah Belanda dan
pengusaha swasta. Dengan undang-undang agraria ini pula ditetapkan adanya
pengakuan kepemilikan perseorangan terhadap si pembuka lahan . Untuk mendapat
pengakuan tersebut, masyarakat ramai-ramai membuka hutan atau lahan pertanian
baru. Kondisi ini menyebabkan hilangnya hak ulayat adat ataupun desa. Menurut
data tahun 1882 dari 3,7 juta hekatare tanah pertanian yang ada, baru sekitar
1,7 juta hektare yang dikuasai perseorangan, tetapi setengah abad kemudian,
ketika luas tanah pertanian meningkat menjadi 6,6 juta hekatare, penguasaan
tanah perorangan telah mencapai 5,4 juta hektare. Sementara tanah-tanah komunal
pada periode yang sama telah berkurang yaitu dari 1,3 juta hekatare menjadi
0,89 hektare dan tanah-tanah yang dikuasai pejabat desa juga berkurang dari
0,34 juta hekatere menjadi 0,24 juta hekatare.Keluarnya Undang-Undang Agraria
tahun 1870 telah mengubah sistem penguasaan dan pengusahaan tanah serta
pengerahan tenaga kerja. Pada masa sistem tanam paksa, petani hanya diwajibkan
menanam seperlima dari lahan yang dimiliki dengan tanaman yang diinginkan oleh
Pemerintah Belanda tanpa ada sewa tanah dan pemberian upah. Dengan
undang-undang ini, penyerahan tanah dan tenaga kerja dihapus dengan ganti
dengan sistem sewa tanah dan sistem perjanjian kerja sukarela melalui sistem
upah antara pengusaha dengan rakyat. Sistem inilah menjadi awal munculnya
istilah kuli kontrak yang dilanjutkan dengan keluarnya peraturan tentang kuli
kontrak (koelie ordonantie) yang dikenal dengan nama poenale sanctie yang
memberi ancaman apabila menolak menjadi buruh atau memberi hukuman apabila
buruh melarikan diri dari pekerjaannya.Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di
Bengkulu antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh
untuk menanam modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1889 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan
sebutan ”Poenale Sanctie” berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda
tanggal 13 Juli 1889 Stbld No. 138 dan diperbaiki lagi tanggal 11 Maret 1898
Stbld No. 70. Ordonansi ini menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan
(ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas
keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa
hingga mirip dengan perbudakan. Sembilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya
dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen
Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja
kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan
pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja
dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Isi kontrak yang dibuat atas
nama si kuli yang menandatangani, berisi bahwa si kuli harus bekerja selama 10
jam dalam satu hari, dibuat untuk masa tiga tahun, dan pada saat kedatangannya
di tempat tujuan ia akan dicatat oleh pemerintah daerah setempat sehingga
terikat oleh hukum yang berlaku di sana. Selain itu si kuli harus melaksanakan
pekerjaan yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya dan tanpa izin tertulis
dilarang meninggalkan onderneming serta yang memberi pekerjaan dapat memberikan
pas keterangan bila buruh hendak mengadukan perlakuan ondernemer yang tidak
sesuai dengan ketentuan. Para kuli diberi fasilitas tempat tinggal, upah, makan
selayaknya, dan MCK. Bila kontrak selesai, si kuli dapat meminta agar
dikembalikan ke kampung asalnya. Si kuli dapat
dihukum bila melarikan diri, mengancam
atasannya, mengganggu ketenangan, menghasut, desersi, melawan perintah,
berkelahi, dan bermabuk-mabukan. Setelah menandatangani kontrak, si kuli diberi
uang panjar. Uang panjar inilah sebagai pengikat si kuli, karena umumnya
diantara para kuli belum pernah menerima uang yang banyak dan umumnya para kuli
menghabiskan uangnya di meja judi dan minum-minuman keras. Inilah yang diingini
oleh pihak perkebunan sehingga para kuli harus bekerja diperkebunan tanpa bisa
melakukan perlawanan. Isi kontrak tentang hak dan kewajiban para kuli dan
ondenemer hanya sebatas kertas tidak pernah dijadikan acuan dalam hubungan
kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Para buruh dipaksa bekerja seperti
budak dan para pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan
(ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan
(ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat
berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau
perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan kontrak kerja. Kepada majikan
diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli kontrak .Perkembangan pesat
dibidang ekonomi bagi pemerintahan Belanda di Residen Bengkulu terutama pada
tahun 1904 setelah daerah Rejang Lebong dimasukkan dalam wilayah Residensi
Bengkoelen. Daerah Rejang Lebong yang subur telah menarik minat perusahaan-perusahaan
bidang perkebunan untuk membuka lahan. Berdasarkan data pada tahun 1890 hingga
1929 permintaan terhadap tanah persil untuk perkebunan meningkat.
Suban ayam
1920-1937 kantor administrasi Pengolahan kopi belanda,sumber :tropenmuseum.nederland
Perkebunan
yang cukup besar pada masa pemerintahan kolonial Belanda adalah Perkebunan
Suban Ayam (Soeban Ajam) yang lebih dikenal dengan nama Perkebunan
Sindang-Redjang yang terletak di Desa Suban Ayam Marga Selupuh Rejang (sekarang
masuk dalam wilayah Kecamatan Selupuh Rejang). Perkebunan ini terletak di
dataran tinggi Bukit Kaba dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut
dan luas 3.448 bau. Beberapa perkebunan lainnya yang terdapat di wilayah
Onderafdeeling Rejang Lebong dapat dilihat pada tabel berikut.Perkebunan lain
yang cukup besar adalah perkebunan Pematang Danau yang dikelola oleh perusahaan
Belanda dengan nama Land Cyndicate Nederlands Handel Maatchappy Kina
Onderneming Pematang Danau Tjoeroep Resident Bengkulen. Daerah ini berada di
daerah Bukit Barisan tepatnya berada di kaki Bukit Kaba dan Bukit Kelam dengan
ketinggian sekitar 1940 meter dari permukaan laut dan sekitar 18 kilometer dari
pusat kota Curup ibukota Kabupaten Rejang Lebong.Dari tabel tersebut terlihat
bahwa kondisi tanah yang berjenis tanah vulkanis di wilayah Onderafdeeling
Rejang sangat sesuai untuk tanaman kopi, teh, dan kina sehingga tanaman utama
perkebunan adalah kopi. Hingga saat inipun kopi dari wilayah Kabupaten Rejang
Lebong cukup terkenal.
Para pekerja di seluruh perkebunan umumnya
adalah kuli kontrak yang berasal dari Jawa. Perekrutan pekerja ini dilakukan
oleh agen tenaga kerja umum (beroepswerving) dan agen tenaga kerja milik perusahaan
(eigenwerving). Umumnya para pekerja tidak pernah diberitahu pekerjaan apa yang
akan mereka kerjakan di daerah Sumatera. Mereka dikumpulkan dan dibawa dalam
satu kapal laut hingga tiba di Pelabuhan Bengkulu selanjutnya disebar ke
berbagai perkebunan yang telah memesan dengan menggunakan transportasi pedati
yang ditarik lembu, truk (prahoto/vrachtautomobielen), bahkan ada yang berjalan
kaki hingga berhari-hari. Menurut beberapa informan bekas kuli kontrak, untuk
ukuran kehidupan ekonomi pada saat itu, upah yang mereka terima sudah cukup
untuk hidup sehari-hari namun tidak bisa untuk membeli keperluan lain. Upah ini
tidak sepenuhnya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup karena akan
berkurang atau bahkan bisa habis pada saat gajian. Karena pihak perkebunan
membuka arena judi dan hiburan tari-tarian disertai minum-minuman alkohol.
Permainan judi yang pernah ada pada waktu itu antara lain adalah dadu putar,
dadu kuncang, dan kartu cong. Sedangkan beberapa minuman alkohol yang laris
saat itu antara lain adalah bogma, zenever, dan wisky.Penghasilan antara kuli
kontrak laki-laki dan perempuan selalu dibedakan karena pekerjaan laki-laki
dianggap lebih berat dari pada pekerjaan perempuan sehingga gaji kuli laki-laki
lebih tinggi. Beberapa perbandingan gaji kuli kontrak dan harga beras di
beberapa perkebunan pada tahun 1921.Kondisi seperti ini juga dialami oleh para
buruh perkebunan (kuli kontrak) di Sumatera Utara pada zaman kolonial. Buruh
kebun di daerah ini menerima uang gaji dan beras sebagai tambahan. Mengutip
tulisan Syafri Sairin , Gubernur Sumatera Timur dari tahun 1933 – 1936
melaporkan bahwa pada tahun 1933 seorang buruh laki-laki menerima pembagian
beras 11 liter tiap 14 hari. Seorang buruh perempuan menerima beras 9 liter
tiap 14 hari. Dengan jumlah ini maka dalam satu bulan seorang buruh laki-laki
menerima 22 liter beras dan buruh perempuan 18 liter beras. Sebagai
perbandingan besar gaji buruh perkebunan dan harga beras di Sumatera Timur
dapat dilihat pada tabel berikut.Pada masa berkembangnya perusahaan perkebunan
(ondernemingen)di wilayah Onderafdeeling Rejang, pada saat itu pulalah tenaga
kerja banyak dibutuhkan. Pada tahun 1928 pada 10 perusahaan saja jumlah kuli
kontrak terdapat 4.534 orang kuli laki-laki dan 3.292 orang kuli perempuan dengan
rincian sebagai berikut.Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bengkulu
antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh untuk menanam
modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1888 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan sebutan ”Poenale
Sanctie”, yang menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan
(ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas
keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa
hingga mirip dengan perbudakan. Sebilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya
dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen
Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja
kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan
pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja
dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Disebutkan dalam poenali
sanctie bahwa pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan
(ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan
(ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat
berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau
perpanjangan masa kerja yang melebihi etentuan
kontrak kerja. Kepada majikan diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli
kontrak .Di bidang pendidikan dapat dikatakan tidak ada sarana dan kesempatan
yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada kuli kontrak. Pada tahun
1940 atas permintaan para kuli kontrak, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan
Sekolah Rendah bagi anak-anak kuli kontrak namun tidak berlangsung lama. Pada
tahun 1942 tentara Jepang menguasai daerah Bengkulu termasuk daerah Rejang.
Sekolah Rendah tersebut dijadikan asrama bagi tentara Jepang selama kurang
lebih 6 bulan kemudian sekolah tersebut aktif kembali. Namun materi pelajaran
yang diberikan sudah berbeda digantikan dengan sistem Jepang. Untuk kelas I
pelajaran yang diberikan adalah belajar huruf Katakana, kelas II belajar
Hiragana, dan kelas III belajar Honzi. Anak-anak yang mendapat pendidikan yang
lumayan hanya sebatas pada anak-anak kerani (pegawai adminitrasi perkebunan)
dan para bawahan tuan besar ondernemingen .Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia
Belanda membuka perkebunan (ondernemingen) di daerah perbukitan yang diberi
nama Bukit Daun dalam wilayah Onderafdeeling Rejang Lebong (Kabupaten Rejang
Lebong sekarang). Para pekerja didatangkan oleh Belanda dari Pulau Jawa terutama
dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Tenaga kerja yang
didatangkan tersebut diikat dengan sistem kontrak. Awalnya para pekerja ini
dijanjikan akan dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli (Kota Medan Sumatera
Utara sekarang), tetapi nyatanya mereka langsung ke daerah Rejang Lebong.Sistem
kontrak yang diberlakukan adalah selama 3 tahun dan dapat diperpanjang bila
diperlukan. Namun oleh Belanda, karena sudah mendapatkan tenaga kerja yang
murah, maka diatur strategi agar tenaga kontrak tersebut tidak meninggalkan
kebun dan bekerja terus pada mereka. Strategi yang dilakukan adalah melegalkan
judi dan minuman keras pada saat gajian kecil dan gajian besar. Gajian kecil
adalah gajian pada pertengahan bulan, sedangkan gajian besar adalah gajian pada
awal bulan. Pada saat gajian inilah para buruh kontrak dipaksa bermain judi
oleh para kaki tangan perkebunan. Dengan segala cara, biasanya para buruh
kontrak selalu kalah dan gajinya habis di tempat tersebut. Pihak perkebunan
dengan senang hati selalu memberi pinjaman kepada buruh sebagai alat untuk
mengikat agar si buruh tidak meninggalkan kebun karena pinjaman tersebut
dibayarkan dengan sistem potong gaji. Demikian seterusnya hingga akhirnya para
buruh kontrak tetap bekerja dan tidak bisa pulang ke desa asalnya karena
terikat hutan walaupun kontraknya sudah habis terpaksa diperpanjang. Lokasi
perkebunan yang terisolir membuat para buruh tidak mendapat informasi tentang
perkembangan dunia luar demikian juga interaksi dengan masyarakat luar. Pada
tahun 1920-an saat Belanda akan memperluas areal kebunnya hingga melewati jalan
pasar Barumanis sekarang (dahulu areal kebun meliputi daerah Bukit Daun hingga
areal jalan raya di Pasar Barumanis sekarang), mendapat perlawanan dari
penduduk Talang Gambir (Desa Sukarami sekarang) karena ada kebun penduduk asli
Rejang yang cukup luas yang disebut Talang Barneo dan Talang Plimo, sehingga
batas areal kebun teh milik Belanda berbatasan dengan jalan Pekan Sabtu Barumanis.
Pemukiman penduduk Desa Barumanis sekarang (bagian atas) dahulunya adalah kebun
teh Belanda.Tahun 1943 Belanda menyerah kepada Jepang sehingga areal kebun
ditinggalkan Belanda dan dikuasai Jepang. Ketika Jepang berkuasa, masyarakat
cukup menderita, pakaian terbuat dari kulit kayu, makanan sejenis umbi-umbian,
jagung dan lain-lain tidak boleh dimanfaatkan secara bebas dan harus diolah
secara tersembunyi agar tidak disita oleh Jepang.Pada masa perkebunan Belanda,
jabatan tertinggi Orang Jawa hanya sebatas mandor kebun, selebihnya hanya
sebagai buruh pemetik, pemupuk, penyemprot, pembersih areal, dan lain-lain yang
sifatnya pekerjaan kasar. Sedangkan Orang Rejang dipekerjakan sebagai staf
administrasi dengan penghasilan yang lebih besar dari buruh-buruh kebun.
C. Setelah
Indonesia Merdeka
S
|
etelah Indonesia merdeka tahun 1945, Jepang
meninggalkan daerah Barumanis, namun tahun 1948 Belanda kembali untuk menguasai
melalui agresi militer I namun mendapat perlawanan dari rakyat dan tentara
Indonesia. Akhirnya Belanda meninggalkan areal kebun tersebut untuk dikelola
oleh Indonesia. Sepeninggal Belanda areal perkebunan tersebut terlantar karena
kekosongan kekuasaan secara politis maupun pengelola perusahaan. Para bekas
buruh perkebunan menggarap beberapa areal perkebunan untuk ditanami tanaman
pangan seperti jagung dan umbi-umbian. Tanaman teh yang terlantar tumbuh tidak
terurus hingga batangnya cukup tinggi dan cukup besar dengan diameter batang
mencapai 25 centimeter.Beberapa bekas buruh perkebunan teh tersebut mencoba
mengelola perkebunan dengan membersihkan areal perkebunan dan mengganti tanaman
teh yang sudah cukup tua dengan tanaman pangan seperti ubi, jagung,
sayur-sayuran, dan tomat. Di areal kebun yang digarap tersebut dibangun
rumah-rumah penduduk yang cukup sederhana dengan berlantai tanah, dinding papan
atau gedek (dinding terbuat dari anyaman bambu), dan atap terbuat dari rumbia
atau belahan bambu yang disusun sedemikian rupa. Ada juga yang sudah dapat
membangun rumah yang lebih bagus dengan dinding papan, lantai semen, dan atap
seng, namun untuk pertama kalinya pada saat itu hanya terdapat dua buah rumah
yaitu rumah milik Mandor Tirto Busari (bekas mandor kebun).Hingga tahun 1958
sudah sekitar 30 kepala keluarga yang menggarap areal bekas perkebunan teh
tersebut terutama oleh keluarga Tirto Busari (mantan mandor besar di perkebun
teh). Pada tahun 1958 terjadi peristiwa PRRI di wilayah Bengkulu hingga masuk
ke Desa Barumanis. Masuknya para pemberontak PRRI ke desa ini menimbulkan
ketakutan warga terutama setelah salah seorang warga di Dusun Trimulyo tewas
tertembak oleh Tentara Hitam yang dicurigai sebagai anggota PRRI. Peristiwa ini
membuat seluruh warga mengungsi ke Curup dengan menumpang di rumah-rumah
keluarga atau kenalan Orang Rejang seperti keluarga Pak Parjiman yang menumpang
di rumah keluarga Pak Abdullah Sani (mantan Pasirah), dan Pak Dalimin yang enumpang di rumah kerabatnya. Ada pula yang
mengungsi hingga ke Lampung dan tidak kembali lagi ke Bengkulu atau ke Desa
Barumanis.Tahun 1960 suasana politik sudah mulai kondusif, pemberontak PRRI
sudah tidak ada lagi. Penduduk kembali ke Desa Barumanis dan menempati rumah
masing-masing yang sudah 2 tahun ditinggalkan sehingga sudah ada yang rusak dan
ditumbuhi oleh tumbuhan liar. Rumah-rumah yang tidak ditempati lagi karena
penghuninya tidak kembali lagi, diambil alih oleh warga tanpa proses ganti
rugi. Para penduduk boleh enggarap areal
eks perkebunan semampu mereka karena pada saat itu penduduk tidak seberapa,
maka satu keluarga ada yang memiliki lahan hingga lebih dari dua hektar,
sedangkan rumah dan kebun yang ditinggalkan oleh pengungsi yang tidak kembali
lagi dapat diambil alih oleh warga lain dengan melapor kepada Kepala Dusun yang
selanjutnya dilaporkan ke pasirah . Pada tahun 1960, sesuai dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 10 Tahun 1960, maka lahan garapan
penduduk mulai ditertibkan dengan melakukan pengukuran dan Pembuatan sertifikat hak milik atas tanah yang
digarap. Dalam UUPA ada lima prinsip utama yang diatur yaitu pertama, sesuai
dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, negara berhak menguasai seluruh kekayaan alam
dan berwenang untuk mengatur kekayaan itu untuk menyejahterakan rakyat, antara
lain dengan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya (pasal 2
UUPA 1960). Kedua, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk
menghindari tumbuhnya tuan tanah yang mengisap tenaga kerja petani melalui
sistem sewa dan gadai (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA 1960). Pengaturan batas minimal
ditujukan agar keluarga petani tidak hidup denganluas lahan yang kecil sebab
sempitnya pemilikan luas tanah berakibat kecilnya pendapatan akibat rendahnya
produktivitas (Pasal 13 jo Pasal 17 UUPA 1960). Jika tanah didistribusikan
secara adil, petani akan mendapatkan tanah secara merata. Luas maksimal tanah
yang dapat dimiliki adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut.Ketiga,
negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga
negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip
nasionalitas (Pasal 9 jo Pasal 21 UUPA 1960). Negara juga membatasi hak warga
negara asing untuk menguasai tanah di Indonesia. Keempat, tanah harus
dikerjakan sendiri secara aktif (Pasal 10 UUPA 1960) dan melarang pemilikan
tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah
terlantar (absentee) atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang
mempunyai kecendrungan memeras (Pasal 10 ayat 1 jo Pasal 11 Ayat 1 UUPA 1960).
Kelima, negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk memberi kepastian
hukum kepada petani pemilik tanah.Selanjutnya penduduk yang sudah menetap
mengajak kaum kerabatnya untuk tinggal bersama karena areal masih cukup luas
untuk dikelola. Demikian seterusnya penduduk Desa Barumanis semakin banyak
hingga saat ini berjumlah 430 kepala keluarga yang merupakan keturunan langsung
dari buruh kontrak di perkebunan Belanda dan beberapa penduduk yang datang pada
periode berikutnya.Tahun 1986 dibuka perkebunan kopi oleh PT. Sembada Nabracom.
Perusahaan ini beroperasi hanya sampai tahun 2003 setelah Hak Guna Usaha atas
lahan perkebunan dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong. Selanjutnya
pada tahun 2003, PT. Kartini salah satu perusahaan perkebunan dari daerah
Pekalongan juga berencana akan membuka perkebunan, namun tidak jadi. Tidak
diperoleh informasi yang jelas mengapa perusahaan tersebut tidak jadi
beroperasi. Terakhir pada tahun 2004, PT. Agro Tea membuka perkebunan teh di
bekas areal perkebunan Belanda tesebut atau bekas perkebunan kopi milik PT.
Sembada Nabracom. Areal perkebunan perusahaan ini meliputi Desa Sentral Baru
dan Desa Barumanis (lihat peta). Dibukanya perusahaan perkebunan ini telah
memberi lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Namun tidak semua penduduk
desa setempat mau bekerja di perusahaan tersebut. Hanya penduduk beberapa desa
saja yang mau bekerja yaitu Desa Kampung Sajad, Desa Air Bening, Sentral Baru,
Pal VIII, Pal IX dan 2 orang dari Desa Barumanis yang bekerja sebagai operator
di pabrik teh.
Dalam beberapa media massa, perusahaan
perkebunan ini mendapat sorotan yang tajam. Hingga saat ini, luas kerusakan
hutan lindung di Bukit Daun Register V Desa Ujan Mas, Rejang Lebong, Bengkulu,
sudah mencapai 31.280 hektare atau sekitar 34,5 persen dari keseluruhan luas
hutan itu, yang tercatat 90.804 hektare.Kerusakan hutan lindung Bukit Daun,
yang menjadi areal tangkapan air bagi PLTA Musi akibat dijadikan perkebunan
kopi, karet, berbagai jenis tanaman keras lainnya, serta penebangan kayu secara
liar. Sekitar 105 dari 150 hektare kawasan hutan lindung register 37 Bukit
Daun, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu kini sudah dibuka oleh PT Agro Tea
(AT), padahal izin pinjam pakai dari Departemen Kehutanan belum turun. PT AT
sebelumnya mendapatkan izin pembukaan kebun teh dari Pemkab Rejang Lebong
seluas 600 Ha di kaki Bukit Daun, namun lahan itu ternyata kurang 150 Ha,
karena itu kawasan hutan lindung yang sudah menjadi semak belukar di sekitar
itu terpaksa dipakai untuk menutupi kekurangan tersebut. Kawasan hutan lindung
yang dirambah perusahaan itu luasnya sekitar 150 Ha, sampai sekarang 105 Ha di
antaranya sudah ditanami teh, kawasan hutan lindung yang dibuka perusahaan itu
lokasinya berbatasan dengan lahan yang diberikan izin oleh Pemkab sekitar tahun
2003 .
Langganan:
Postingan (Atom)